Wacana Dokter Umum Boleh Lakukan Operasi Caesar, Pengamat: Fokus Seharusnya pada Deteksi Dini Risiko Kehamilan

Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengusulkan agar dokter umum di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) diberi kewenangan untuk melakukan tindakan operasi caesar. Usulan ini muncul sebagai solusi atas minimnya jumlah dokter spesialis kandungan di wilayah terpencil di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya sekitar 200 yang memiliki dokter spesialis obgyn.
“Kalau dia (dokter spesialis) cuma ada di 200, yang 300 gimana? Kalau saya, 300 dokter umumnya diajarin dong, boleh,” ujarnya dalam video yang diunggah akun resmi Kemenkes RI.
Namun, usulan ini menuai respons kritis dari kalangan pengamat kebijakan kesehatan. Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menilai bahwa fokus pemerintah seharusnya diarahkan pada akar persoalan tingginya angka kematian ibu, yakni lambatnya deteksi dini risiko kehamilan dan keterlambatan rujukan ke fasilitas kesehatan memadai.
“Pendekatan berbasis data dan pencegahan harus lebih diutamakan ketimbang melonggarkan kewenangan medis tanpa penguatan deteksi dini risiko kehamilan,” kata Natasya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/5).
Cakupan Pemeriksaan Antenatal Masih Rendah
Mengacu pada Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, lebih dari 40% ibu hamil di Indonesia belum menyelesaikan enam kali kunjungan antenatal yang menjadi standar ideal pemantauan kehamilan. Fakta ini menunjukkan masih lemahnya pemantauan kesehatan kehamilan secara menyeluruh.
Natasya menekankan pentingnya edukasi sejak pra-kehamilan melalui kanal seperti posyandu, skrining pranikah, dan penyebaran informasi lewat Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Menurutnya, pemberdayaan calon orang tua lebih efektif untuk jangka panjang daripada solusi jangka pendek yang berisiko.
Usulan Penguatan Infrastruktur dan Komunikasi Publik
Untuk menjawab tantangan geografis dan ketimpangan distribusi layanan, Natasya mendorong pengembangan dashboard pelayanan maternal berbasis ketimpangan wilayah. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi hambatan lapangan seperti biaya, jarak, ketersediaan tenaga medis, dan faktor budaya yang kerap menghambat proses rujukan.
“Jika masalahnya adalah jarak dan biaya, maka subsidi transportasi dan rumah singgah perlu diperluas. Jika soal tenaga kesehatan, maka program Nusantara Sehat dan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) harus dioptimalkan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti lemahnya komunikasi publik pemerintah dalam menggulirkan wacana dokter umum melakukan operasi caesar. TII mencatat, berdasarkan hasil evaluasi 200 hari Menteri Kabinet Merah Putih, keterampilan komunikasi publik para menteri hanya mencapai 68,75%, dan konsistensi kebijakan hanya 35,42%.
“Peningkatan layanan kesehatan masyarakat harus dilakukan dengan kebijakan berbasis data dan strategi komunikasi publik yang baik, agar tidak mengorbankan rasa aman masyarakat,” tutup Natasya.