RUU Kejaksaan Berpotensi Timbulkan Tumpang Tindih Kewenangan, DPN LKPHI Ingatkan Prinsip Checks and Balances

Jakarta - Direktur Eksekutif Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Kajian dan Peduli Hukum Indonesia (DPN LKPHI), Ismail Marasabessy, S.H., mengingatkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Pembagian tugas dalam sistem peradilan pidana telah diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan harus tetap berpedoman pada prinsip checks and balances dalam sistem hukum nasional," ungkapnya, Minggu (22/02/2025)
Ismail menyoroti beberapa pasal dalam RUU Kejaksaan yang berpotensi bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya, di antaranya:
1. Pasal 30 Ayat (1) Huruf d
Pasal ini memberi kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, yang dapat tumpang tindih dengan kewenangan Polri dan KPK dalam penyidikan berbagai tindak pidana, termasuk korupsi.
2. Pasal 35 Ayat (1) Huruf j
Ketentuan ini mengatur bahwa Jaksa Agung memiliki kendali penuh atas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dari awal hingga akhir. Hal ini dinilai dapat memusatkan kekuasaan secara berlebihan pada Jaksa Agung dan mengganggu prinsip *checks and balances*.
3. Pasal 8 Ayat (5)
Pasal ini menyebutkan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan dengan izin Jaksa Agung. Menurut Ismail, aturan ini berpotensi memberikan kekebalan hukum bagi jaksa dan menghambat upaya penegakan hukum oleh Polri dan KPK.
Jika pasal-pasal tersebut tidak diperjelas batasannya, Ismail memperingatkan bahwa konflik kewenangan antara Kejaksaan, Polri, dan KPK akan sulit dihindari. Padahal, KUHAP sudah mengatur secara tegas bahwa penyidikan perkara pidana merupakan tugas Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam kasus tertentu, sementara kewenangan penuntutan berada di tangan Kejaksaan.
Pentingnya Keseimbangan Kewenangan dalam Penegakan Hukum
Sebagai praktisi hukum, Ismail menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia harus menjaga keseimbangan kewenangan di antara lembaga penegak hukum. Jika RUU Kejaksaan mengaburkan batasan antara penyidik dan penuntut umum, dikhawatirkan akan terjadi ketidakpastian hukum serta konflik kepentingan dalam proses peradilan.
“Kejaksaan harus tetap berfokus pada fungsi utamanya sebagai lembaga penuntutan, sedangkan penyidikan harus tetap berada di ranah Polri dan KPK sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan sampai perubahan regulasi ini justru melemahkan sinergi antar-lembaga hukum,” ujar Ismail.
DPN LKPHI mendesak DPR dan pemerintah untuk melakukan kajian lebih mendalam terhadap RUU Kejaksaan dengan melibatkan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil. Ismail berharap perubahan regulasi ini dapat memperkuat koordinasi antar-lembaga hukum, bukan justru menciptakan ketimpangan dalam sistem peradilan.
"RUU Kejaksaan harus tetap menjunjung prinsip keadilan, kepastian hukum, dan efektivitas dalam penegakan hukum. Regulasi yang baik harus memperjelas kewenangan masing-masing lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih yang dapat merugikan masyarakat," pungkasnya.