Presiden Jokowi Batalkan Rencana Pindah Kantor ke IKN Nusantara karena Ketidaksiapan Fasilitas Dasar

Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda rencana berkantor di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pada bulan Juli ini akibat ketidaksiapan fasilitas dasar seperti listrik dan air bersih.
"Airnya sudah siap belum? Listriknya sudah siap belum? Tempatnya sudah siap belum? Kalau siap, pindah," ujar Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (8/7).
Jokowi menegaskan bahwa dirinya akan pindah jika fasilitas dasar sudah siap. Saat ini, ia menerima laporan rutin dari Kementerian PUPR terkait progres pembangunan IKN, namun fasilitas dasar tersebut belum rampung.
Jokowi juga belum bisa memastikan kapan keputusan presiden (Keppres) pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN akan diterbitkan. Ia hanya menyebut Keppres bisa saja terbit sebelum HUT Indonesia ke-79 atau setelah presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, dilantik pada Oktober mendatang.
"Kita tidak ingin memaksakan sesuatu, yang memang belum jangan dipaksakan. Semuanya dilihat, progres lapangannya dilihat," kata Jokowi.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Joko Agus Setyono, memprediksi Keppres pemindahan ibu kota akan terbit pekan ini atau pekan depan. Joko mengatakan bahwa Keppres harus diterbitkan sebelum upacara peringatan HUT ke-79 RI yang akan digelar di IKN Nusantara pada 17 Agustus mendatang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai pembatalan pindah kantor Jokowi ke IKN tidak mengherankan karena proyek IKN seharusnya berjalan dalam jangka panjang. Menurutnya, pembangunan fasilitas dasar harus sesuai standar yang tinggi dan tidak perlu dipaksakan jika belum siap.
Eko juga berpendapat bahwa penundaan kepindahan ini menunjukkan bahwa IKN belum siap ditempati, apalagi untuk menjadi sebuah kota dengan aktivitas normal. Ia menekankan bahwa agar IKN bisa berjalan, fasilitas dasar harus rampung terlebih dahulu, diikuti oleh pemindahan aparatur sipil negara (PNS).
Eko menyatakan bahwa pembatalan pemindahan kantor presiden juga mempertebal keraguan investor, yang masih berkalkulasi terkait prospek ekonomi di ibu kota baru tersebut.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menyatakan bahwa tertundanya pemindahan kantor presiden adalah risiko dari menjadikan IKN sebagai 'proyek politik'. Ia menyoroti bahwa pemerintah melupakan aspek pertimbangan mendalam, perencanaan profesional, dan kesiapan fiskal yang matang.
Ronny juga mengkritik bahwa IKN belum jelas secara ideasional, intelektual, dan ilmiah, namun sudah dieksekusi secara diskresional dengan dukungan istana. Ia menyebut perpindahan ibu kota yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa persiapan matang sebagai penyebab utama ketidakjelasan dan ketidaksiapan proyek tersebut.
Menurut Ronny, tertundanya pemindahan kantor Jokowi akan berdampak negatif pada investor yang sudah pesimistis dengan IKN. Ia mengatakan bahwa prospek untuk melibatkan pihak ketiga akan semakin kurang baik kecuali ada jaminan besar bahwa APBN akan diarahkan ke sana selama lima tahun ke depan.
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menilai batalnya pemindahan kantor Jokowi ke IKN akibat ketidaksiapan infrastruktur menjadi preseden bagi pembangunan ke depan. Ia menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur harus dikerjakan secara matang dan tidak terburu-buru untuk menjamin kualitas dan keamanan.
Faisal juga menyebut bahwa pembangunan IKN yang tidak sesuai target tidak bisa dipaksakan. Ia menekankan bahwa pemerintahan berikutnya harus lebih realistis dalam pembangunan IKN dan belajar dari kejadian saat ini.
Faisal menambahkan bahwa faktor teknis menjadi salah satu kendala dalam pembangunan fisik IKN, termasuk masalah sengketa lahan. Ia berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu memaksakan pembangunan IKN untuk dikebut agar bisa difungsikan pada Agustus mendatang.
Faisal mengingatkan agar pemerintah yang akan datang tidak meneruskan pembangunan IKN dengan cara tergesa-gesa dan lebih realistis dalam alokasi anggaran, baik secara fiskal, kemampuan pembiayaan, maupun teknis.