Peneliti ITB dan Curtin University Kembangkan Sistem Daur Ulang Baterai EV Berkelanjutan

Aug 1, 2025 - 00:08
Peneliti ITB dan Curtin University Kembangkan Sistem Daur Ulang Baterai EV Berkelanjutan
Ilustrasi Baterai Kendaraan Listrik

Jakarta - Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Curtin University Australia tengah mengembangkan pendekatan baru dalam sistem daur ulang baterai kendaraan listrik (EV) yang berkelanjutan. Proyek ini merupakan bagian dari studi kolaboratif dalam program “KONEKSI”, kemitraan pengetahuan antara Indonesia dan Australia.

Peneliti utama dari ITB, Dr. Eng. Bentang Arief Budiman, S.T., M.Eng., mengungkapkan bahwa daur ulang baterai perlu dimulai sejak tahap desain. Menurutnya, membangun ekosistem baterai yang berkelanjutan tidak cukup hanya dengan pengolahan akhir, tetapi juga harus memperhitungkan kemudahan proses pembongkaran dan pemanfaatan kembali komponen sejak awal perakitan.

“Penelitian kami fokus pada bagaimana baterai bisa terus berkelanjutan. Kalau kita ingin membuat ekosistem yang berkelanjutan, maka daur ulang harus mulai dipikirkan dari proses desain,” ujar Bentang dalam diskusi di Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Ia menambahkan bahwa sebelum didaur ulang, baterai EV yang kapasitasnya telah menurun masih dapat dimanfaatkan kembali melalui proses repurposing. Misalnya, digunakan sebagai sumber energi cadangan atau sistem penyimpanan energi di sektor lain.

Di Indonesia, baterai kendaraan listrik bekas saat ini masih dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), namun sistem pengolahannya belum memadai. Padahal, dengan desain yang memperhatikan aspek keberlanjutan, proses pembongkaran dan pemisahan material bisa dilakukan dengan lebih efisien.

“Pendekatan desain ulang dari tahap perakitan hingga daur ulang memungkinkan kita memanfaatkan kembali bahan dari baterai bekas. Ini menjadi kunci menjaga keberlanjutan industri kendaraan listrik ke depan,” ujarnya.

Riset ini juga mengkaji dua jenis baterai utama yang banyak digunakan di Indonesia, yakni NCM (Nickel Cobalt Manganese) dan LFP (Lithium Iron Phosphate). Menurut Bentang, keduanya memiliki potensi untuk didaur ulang, namun nilai ekonominya berbeda.

“NCM punya nilai jual lebih tinggi karena kandungan nikel dan kobalt yang bernilai, sedangkan LFP lebih murah dan banyak digunakan, tapi nilai daur ulangnya relatif lebih rendah,” jelasnya.

Proyek kolaboratif ini ditargetkan menghasilkan demonstrasi teknologi daur ulang yang terjangkau dan efisien. Tujuannya adalah menciptakan sistem daur ulang baterai berbiaya rendah yang dapat bersaing secara ekonomi dengan material tambang baru, sekaligus memperkuat industri kendaraan listrik nasional.

“Dengan pendekatan ini, kami berharap industri EV Indonesia tidak hanya tumbuh, tapi juga berkelanjutan dari hulu ke hilir,” pungkas Bentang.