Joko Anwar: 'Pengepungan di Bukit Duri' Bukan Sekadar Film, Tapi Cermin Realitas Sosial

Jakarta - Sutradara kenamaan Joko Anwar berharap film terbarunya yang berjudul Pengepungan di Bukit Duri dapat menjadi pemicu diskusi dan refleksi di tengah masyarakat tentang kondisi sosial yang terjadi di Indonesia saat ini.
“Maaf kalau film ini tidak menghibur, tapi alurnya mudah diikuti. Tujuannya agar pesan yang kami sampaikan bisa menjangkau lebih banyak orang,” ujar Joko Anwar saat pemutaran khusus untuk pers di Jakarta, Kamis (10/04/2025).
Menurut Joko, film ini bukan hanya menampilkan ketegangan dalam bentuk aksi, melainkan juga menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya membuka ruang dialog dan berani menghadapi kenyataan sosial yang selama ini kerap dihindari oleh publik.
Cerita dalam film *Pengepungan di Bukit Duri* mengambil latar waktu dua tahun ke depan—sebuah masa depan yang Joko nilai bukan sekadar fiksi, melainkan proyeksi dari kondisi nyata yang sedang terjadi.
“Kalau kita terus menghindari percakapan penting tentang trauma, kekerasan, atau ketimpangan sosial, maka kita sedang berjalan menuju situasi yang digambarkan dalam film ini. Luka-luka itu tidak akan sembuh hanya karena kita memilih untuk melupakannya,” katanya.
Joko menekankan bahwa film ini tidak bertujuan untuk menggurui. Sebaliknya, ia ingin menghadirkan cermin bagi masyarakat agar berani melihat wajah asli bangsa ini—tentang pendidikan yang timpang, kekerasan yang semakin lazim, dan intoleransi yang masih kuat mengakar di tengah masyarakat yang beragam.
Ia menyoroti budaya penyangkalan yang masih melekat dalam diri bangsa Indonesia. “Kita merasa religious, tapi korupsi merajalela. Kita menganggap diri ramah, tapi tidak bisa menerima perbedaan. Kita sering membangun citra palsu demi menutupi kenyataan yang ada,” ungkapnya.
Joko juga mengajak penonton untuk tidak hanya menikmati cerita yang disuguhkan, melainkan turut masuk ke dalam ruang perenungan tentang arah bangsa dan masa depan generasi muda.
“Film ini disusun secara terukur, tapi tetap menyampaikan realitas yang terjadi di masyarakat. Ini semacam alarm—pengingat—bahwa tanpa kesadaran kolektif, masa depan kita bisa menjadi seperti yang ditampilkan dalam film,” pungkasnya.