Ironi Komersialisasi Pendidikan, Tingginya Biaya UKT Mengancam Akses Pendidikan

Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, isu komersialisasi pendidikan di Indonesia telah menjadi perhatian serius. Salah satu aspek yang paling mencolok adalah kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin tinggi. Tren ini mengkhawatirkan karena bertentangan dengan amanat konstitusi yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara.
"Pendidikan untuk semua merupakan amanat konstitusi dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1), yang menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan," kata Dr. Rasminto Direktur Eksekutif Human Studies Institute.
"Pendidikan adalah salah satu fondasi utama dalam pembangunan masyarakat yang maju," imbuhnya.
Namun, biaya UKT yang terus meningkat telah menimbulkan masalah serius. Ketika mahalnya biaya UKT menjadi norma, hal ini langsung memengaruhi aksesibilitas pendidikan tinggi bagi masyarakat dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Banyak orang terjebak dalam perangkap utang, terpaksa memilih antara melanjutkan pendidikan atau menanggung beban finansial yang berat.
Rasminto yang juga merupakan Akademisi Universitas Islam 45 (Unisma) menjelaskan bahwa komersialisasi pendidikan, yang tercermin dalam kenaikan biaya UKT, juga memperkuat kesenjangan sosial.
"Masyarakat berpendapatan rendah cenderung menjadi korban utama dari situasi ini, sementara mereka dari latar belakang ekonomi yang lebih mapan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi," tambahnya.
Ketika pendidikan dianggap sebagai "industrialisasi," fokus utama sering kali bergeser dari penyediaan pendidikan berkualitas ke maksimalisasi keuntungan. Hal ini dapat mengarah pada penurunan mutu pendidikan, dengan lembaga pendidikan yang cenderung mengurangi biaya atau memotong sudut untuk meningkatkan profitabilitas.
Mahalnya biaya UKT merupakan masalah yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Langkah-langkah perlindungan sosial, beasiswa berbasis kebutuhan, dan kebijakan harga yang adil perlu dipertimbangkan sebagai solusi untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak bagi setiap warga negara, bukan hak istimewa yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang beruntung.
Komersialisasi pendidikan yang seharusnya membawa pendidikan ke arah yang lebih inklusif dan berkualitas, justru sering kali memperdalam kesenjangan akses dan memperkuat ketidaksetaraan sosial. Hal ini bertolak belakang dengan Pasal 4 Ayat (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
"Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak asasi manusia yang dapat diakses oleh semua individu tanpa pandang bulu, telah berubah menjadi industrialisasi dalam praktik 'jual-beli dagangan'," kata Rasminto. "Ketika lembaga pendidikan lebih memprioritaskan profitabilitas daripada misi pendidikan, biaya UKT pun sering kali melambung tinggi, menjadi hambatan utama bagi akses pendidikan tinggi bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah," tegasnya.
Ironisnya, meskipun biaya UKT tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, hal ini justru memperkuat ketidaksetaraan akses pendidikan dan menghambat mobilitas sosial. Masyarakat berpenghasilan rendah sering kali terpinggirkan dan sulit mengakses kesempatan pendidikan yang sama dengan mereka yang lebih mampu secara finansial.
Rasminto mengutip pemikiran Karl Mannheim dalam karya Paulo Freire (2001), yang menekankan perlunya sistem pendidikan yang memusatkan daya untuk mengembangkan kekuatan intelektual dan menghasilkan kerangka berpikir yang dapat menanggung beban skeptisisme. Pemikiran Mannheim ini menjadi rujukan bagi perumus kebijakan pendidikan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sebagai objek pembangunan, khususnya dalam pendidikan nasional.
Efek mahalnya biaya UKT juga dapat memicu masalah utang pendidikan yang menghimpit. Masyarakat terkadang terpaksa mengambil pinjaman pendidikan besar, membatasi kemampuan lulusan untuk meraih keberhasilan finansial dan mengambil risiko dalam karir atau investasi masa depan.
"Komersialisasi pendidikan menjadi ironi yang memprihatinkan di mana pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk mengatasi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial, malah menjadi sumber ketidaksetaraan yang lebih besar," tegas Rasminto. "Diperlukan upaya serius untuk mengatasi masalah komersialisasi pendidikan dan memperjuangkan nilai-nilai esensial pendidikan yang inklusif dan berkeadila," tutupnya.