Industri Keramik Nasional Terancam oleh Predatory Pricing Keramik Impor dari China

Jakarta - Industri keramik nasional semakin resah menghadapi produk impor dari China. Harga keramik impor asal China yang terlalu murah membuat industri keramik dalam negeri kesulitan bersaing.
"Para importir menerapkan Predatory Pricing di mana sengaja menjual produk impor jauh di bawah biaya produksi keramik nasional," kata Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto kepada CNBC Indonesia, Senin (01/07/2024).
Indonesia menjadi target karena penjualan di negara lain sedang lesu, terutama di pasar tradisional yang selama ini menjadi andalan China. Bahkan, ada campur tangan pemerintah China dalam penyebaran keramik impor di Indonesia.
"Unfair trade yang telah terbukti berupa subsidi pemerintah Tiongkok, praktek dumping akibat overcapacity dan oversupply produk keramik China, serta pengalihan pasar ekspor utama Tiongkok yang selama ini ditujukan untuk negara Uni Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Amerika Utara telah dialihkan ke Indonesia pasca negara-negara tersebut menerapkan anti dumping terhadap produk dari China," jelas Edy.
Akibatnya, dampak kerugian terhadap industri keramik nasional jelas terlihat dengan penurunan tingkat utilisasi produksi. Yang paling disayangkan adalah defisit transaksi ekspor-impor produk keramik senilai lebih dari US$1,3 miliar dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Padahal, permintaan keramik nasional baik dari sisi volume kebutuhan maupun jenis keramik semuanya bisa terpenuhi oleh industri keramik nasional.
Pemerintah mencoba membatasi impor ini, Menteri Perindustrian mengusulkan revisi dan peninjauan ulang Permendag Nomor 8 tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
"Semangat keberpihakan dalam rangka penguatan dan perlindungan terhadap industri keramik dalam negeri juga ditunjukkan melalui Permenperin SNI Wajib untuk Keramik," kata Edy.
Pemerintah telah memusnahkan keramik-keramik dari China yang tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) di Surabaya. Total keramik yang tidak sesuai SNI itu berjumlah 4,7 juta dan nilainya Rp 80 miliar. Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) tengah menyelidiki banjirnya keramik China.
"Dari bukti awal permohonan penyelidikan perpanjangan yang disampaikan, KPPI menemukan fakta bahwa masih terjadi kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami pemohon serta belum optimalnya penyesuaian struktural yang dilakukan," ujar Ketua KPPI Franciska Simanjuntak, dalam keterangannya, dikutip Rabu (26/06/2024).