Fenomena Slow Living Kian Diminati Generasi Muda, Cara Baru Hadapi Tekanan Ekonomi

Jul 26, 2025 - 20:02
Fenomena Slow Living Kian Diminati Generasi Muda, Cara Baru Hadapi Tekanan Ekonomi
Ilustrasi gaya hidup Slow Living. Foto:Canva/Edi Purwanto

Jakarta - Di tengah derasnya tekanan ekonomi dan ritme kehidupan global yang semakin cepat dan kompetitif, masyarakat Indonesia, khususnya generasi milenial dan Gen Z mulai melirik gaya hidup slow living sebagai alternatif cara hidup yang lebih seimbang dan manusiawi.

Konsep slow living mengedepankan ritme kehidupan yang tidak terburu-buru, sederhana, dan penuh kesadaran dalam mengambil keputusan, termasuk dalam hal konsumsi. Gaya hidup ini kini menjadi pilihan sejumlah kalangan yang merasa lelah dengan tuntutan hidup modern yang serba cepat dan menekan.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyebut tren slow living sebagai bentuk pergeseran cara pandang masyarakat, khususnya anak muda, terhadap makna kehidupan dan kondisi ekonomi saat ini.

“Konsep ini cenderung diminati generasi milenial dan Gen Z, yang mulai sadar bahwa uang bukanlah pusat dari segalanya,” ujar Tauhid saat dihubungi, Sabtu (26/7/2025).

Menurutnya, slow living memiliki dua sudut pandang. Pertama, sebagai respons terhadap tekanan ekonomi yang tinggi, dan kedua, sebagai bentuk kesadaran untuk hidup lebih seimbang. Dalam konteks ekonomi, konsep ini justru bisa membantu seseorang menekan biaya hidup.

“Kalau tekanan ekonomi tinggi, mereka bisa memanfaatkan slow living untuk mengurangi cost. Misalnya dengan menghindari gaya hidup konsumtif, hidup lebih sederhana, dan tidak terlalu mengejar materi,” jelasnya.

Tauhid menambahkan bahwa generasi muda yang mengadopsi gaya hidup ini umumnya lebih fokus pada keseimbangan hidup antara pekerjaan, kesehatan mental, dan kehidupan sosial. Mereka tidak lagi terpaku pada keharusan untuk berpenghasilan tinggi jika harus dibayar dengan tekanan kerja dan hilangnya waktu pribadi.

“Mereka kadang berpikir, ngapain kerja sampai malam, tapi mentalnya tertekan. Tidak mengejar prestasi demi gengsi, yang penting pekerjaan beres dan hidup tetap waras,” ujarnya.

Namun, Tauhid menyoroti bahwa penerapan slow living belum tentu cocok di semua wilayah, khususnya di kota-kota besar seperti Tokyo atau Singapura. Di sana, masyarakat dituntut bergerak cepat demi bertahan hidup, sehingga konsep slow living menjadi sesuatu yang hampir mustahil.

“Di kota besar, orang seperti robot. Dipaksa mengejar income tinggi sehingga sisi humanisnya hilang. Tapi di beberapa kota di Indonesia, mungkin ini jadi alasan kenapa indeks kebahagiaan tinggi karena ada jalan keluar lewat slow living dari tekanan ekonomi,” tutup Tauhid.

 

Top of Form

 

Bottom of Form