Family Office di Indonesia Berpotensi Meningkatkan Ekonomi, Namun Berisiko

Jakarta - Para ekonom menilai bahwa pendirian family office di Indonesia dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, tetapi juga menghadirkan risiko yang perlu diwaspadai oleh pemerintah. Family office adalah firma penasihat pengelolaan kekayaan swasta yang melayani individu dengan kekayaan bersih tinggi dan bersifat eksklusif serta tertutup, berbeda dari manajer kekayaan tradisional.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menyatakan bahwa keberadaan family office dapat menarik uang dari para orang kaya ke Indonesia, yang berpotensi meningkatkan cadangan devisa negara.
"Langkah ini sebenarnya untuk menarik orang-orang kaya ke Indonesia, positifnya memang akan berdampak ke cadangan devisa kita yang meningkat," kata Abdul Manap, Rabu (02/07/2024).
Pemerintah berencana mengizinkan family office untuk beroperasi di Indonesia, dengan harapan dapat menarik 5% dari US$500 miliar uang orang kaya yang beredar secara global. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, berencana membentuk satuan tugas untuk mematangkan rencana ini, menjanjikan insentif pajak bagi harta yang ditempatkan di Indonesia asalkan diinvestasikan di dalam negeri.
Namun, Abdul Manap mengkhawatirkan bahwa uang para orang kaya mungkin tidak diinvestasikan ke sektor riil, melainkan masuk ke instrumen keuangan seperti Surat Berharga Negara. Mengingat pasar keuangan Indonesia yang masih dangkal, ini bisa menggoyang perekonomian jika dana tersebut tiba-tiba ditarik.
"Pada saat tiba-tiba dana itu ditarik, itu akan mempengaruhi likuiditas pasar keuangan kita," ujarnya.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menambahkan bahwa keberadaan family office memiliki potensi untuk menambah penerimaan negara. Masuknya dana untuk investasi diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian dan meningkatkan penerimaan pajak serta cadangan devisa.
"Ketika investor memasukkan dananya itu bisa menggerakkan ekonomi, diharapkan ekonomi tumbuh lalu pajak bisa masuk. Cadangan devisa tentu akan positif karena uangnya masuk Indonesia," kata Prianto.
Namun, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa keberadaan family office justru bisa menimbulkan masalah. Kebijakan ini bertolak belakang dengan harapan masyarakat untuk adanya pajak kekayaan, mengingat Indonesia merupakan negara G20 dengan dukungan tertinggi terhadap pajak kekayaan.
"Jika pemerintah justru mendorong family office yang bebas pajak maka ini bisa menyulitkan pemerintah dalam mengungkap, menyidik, dan memajaki orang kaya," kata Bhima.
Bhima juga menilai Indonesia belum siap dengan keberadaan family office, mengingat dua ciri utama negara yang menjadi tempat family office adalah negara dengan tarif pajak super rendah (seperti Gibraltar, Panama, dan Virgin Island) atau negara dengan kedalaman pasar uang dan infrastruktur keuangan yang lengkap (seperti Singapura, Inggris, dan Hong Kong). Menurutnya, kedua kriteria ini belum ada di Indonesia.